Artikel Konservasi Taman Nasional Tanjung Puting

Berita Taman Nasional Tanjung Puting

Tambang dan Perkebunan Sawit Rusak Ekosistem Oangutan

Ekosistem Orangutan Hancur Akibat Tambang dan Perkebunan Sawit

Ekosistem orangutan menghadapi ancaman kepunahan akibat ekspansi industri tambang batubara dan perkebunan kelapa sawit yang dikendalikan konglomerat besar Indonesia. Kerusakan habitat alami primata endemik ini kini terjadi secara masif di Kalimantan dan Sumatera. Aktivitas pembukaan lahan untuk kepentingan ekonomi telah mengakibatkan penurunan populasi orangutan hingga mencapai tingkat kritis dalam dua dekade terakhir.

PT Kaltim Prima Coal Milik Keluarga Bakrie Rusak Habitat Orangutan

PT Kaltim Prima Coal yang dimiliki oleh Bumi Resources milik Aburizal Bakrie menjadi salah satu perusahaan tambang terbesar perusak habitat orangutan di Kalimantan Timur. Konsesi pertambangan seluas 61.543 hektar di Sangatta dan Bengalon ini berbatasan langsung dengan Taman Nasional Kutai yang menjadi rumah bagi ribuan orangutan kalimantan.

Aburizal Bakrie yang pernah menjabat sebagai Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Ketua Umum Partai Golkar memiliki pengaruh politik yang kuat. Melalui Bumi Resources, keluarga Bakrie menguasai 51 persen saham KPC dengan pembagian 25 persen untuk BUMI dan 26 persen untuk Sitrade. Adika Nuraga Bakrie atau Aga Bakrie, cucu Aburizal, kini menjabat sebagai Presiden Direktur PT Kaltim Prima Coal sejak April 2022.

Penelitian akademisi Universitas Mulawarman Liza Niningsih tahun 2017 membuktikan bahwa orangutan terpaksa mengubah perilaku alamiahnya akibat operasi tambang KPC. Orangutan sering terlihat berkeliaran di area tambang batubara mencari makanan karena habitat aslinya telah rusak. Kondisi ini memaksa BKSDA Kalimantan Timur melakukan penyelamatan darurat terhadap puluhan orangutan yang terancam keselamatan jiwanya di kawasan pertambangan.

Indo Tambangraya Megah Milik Banpu Thailand Terbukti Merusak Ekosistem Orangutan

PT Indo Tambangraya Megah yang dikuasai 65,14 persen oleh Banpu Minerals dari Thailand juga tercatat merusak habitat orangutan melalui anak perusahaannya. PT Indominco Mandiri, PT Trubaindo Coal Mining, dan PT Kitadin Embalut mengoperasikan tambang di wilayah sebaran orangutan Kalimantan Timur dan Kalimantan Tengah.

Perusahaan yang dulunya milik Grup Salim ini diakuisisi Banpu Public Company Limited pada 2001 seharga 45,5 juta dolar Amerika. Meskipun tambang batubara hanya menyumbang 1 persen deforestasi di Kalimantan, dampak lingkungannya sangat dalam karena mencemari sumber air dan merusak topografi habitat orangutan.

Berbeda dengan perkebunan sawit yang diatur RSPO dan ISPO, regulasi konservasi di area pertambangan batubara hingga kini belum ada. Tidak ada kewajiban bagi perusahaan tambang untuk menyediakan area konservasi orangutan di konsesi mereka. Hal ini membuat degradasi ekosistem orangutan semakin parah di wilayah operasi Indo Tambangraya Megah dan anak perusahaannya.

First Borneo Group Gusur Habitat Orangutan Jadi Perkebunan Sawit

First Borneo Group yang dikendalikan keluarga pengusaha Kalimantan Barat menjadi perusak habitat orangutan terbesar di sektor perkebunan sawit periode 2023 hingga 2025. Yayasan Auriga Nusantara mencatat bahwa tiga anak perusahaan First Borneo telah menghancurkan 1.877 hektar habitat orangutan di Kabupaten Kapuas Hulu sejak Januari 2021.

PT Equator Sumber Rezeki membabat 36 hektar habitat orangutan pada Januari hingga April 2025 saja. PT Borneo International Anugerah mencatat deforestasi tertinggi dengan 2.650 hektar antara Maret 2023 hingga Maret 2025. Sementara PT Khatulistiwa Agro Abadi menghancurkan 1.797 hektar habitat orangutan dari total deforestasi 1.903 hektar di konsesinya.

Mighty Earth melaporkan bahwa PT BIA menjadi perusahaan sawit dengan tingkat deforestasi tertinggi untuk sektor sawit di Indonesia periode 2023 hingga 2024. Pembabatan hutan ini mengancam dua subspesies orangutan kalimantan sekaligus yaitu Pongo pygmaeus pygmaeus dan Pongo pygmaeus wurmbii yang populasinya terus menurun drastis.

Indofood Agri Milik Anthony Salim Terbukti Rusak Kawasan Orangutan

PT Gunta Samba Jaya milik Indofood Agri Resources yang dikuasai konglomerat Anthony Salim terbukti merusak habitat orangutan di Kong Beng dan Miau Baru. Centre for Orangutan Protection melaporkan perusahaan ini membuldoser hutan kategori High Conservation Value Forest yang menjadi rumah bagi orangutan pada 2012 hingga 2013.

Anthony Salim adalah generasi kedua Grup Salim yang mewarisi bisnis ayahnya Liem Sioe Liong yang dekat dengan Orde Baru. Meskipun sempat menyangkal, PT Gunta Samba Jaya akhirnya sepakat menghentikan operasi setelah dua anak orangutan terpisah dari induknya akibat pembersihan lahan yang dilakukan perusahaan.

Indofood Agri Resources menguasai konsesi seluas 8.378 hektar di wilayah Miau Baru melalui anak perusahaannya PT Salim Ivomas Pratama. Perusahaan berbasis Singapura ini terdaftar dengan nomor usaha 200106551G di Republik Singapura namun melakukan operasi perusakan lingkungan di Kalimantan Timur.

Upaya Penegakan Hukum Terhadap Perusahaan Perusak Ekosistem Orangutan

Pemerintah melalui Direktorat Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem terus menguatkan penegakan hukum terhadap perusahaan perusak habitat orangutan. Pencabutan izin usaha dan sanksi pidana mulai diberlakukan namun implementasinya masih lemah karena pengaruh politik dan ekonomi yang kuat dari konglomerat tersebut.

Martias Fangiono, pendiri First Resources dan ayah dari Ciliandra Fangiono, divonis 1,5 tahun penjara. Ia juga didenda 346 miliar rupiah pada 2007 karena menyuap pejabat untuk izin konsesi sawit. Namun kejahatan lingkungan terus berlanjut melalui perusahaan keluarganya yang kini beroperasi di bawah bendera berbeda.

Program rehabilitasi dan translokasi menjadi solusi darurat untuk menyelamatkan orangutan terdampak aktivitas industri ekstraktif. BKSDA Kalimantan Timur mencatat penyelamatan 37 individu orangutan pada dua bulan pertama tahun 2025 saja. Jumlah ini melebihi total penyelamatan sepanjang tahun 2024 yang hanya mencapai 31 individu orangutan.

Pentingnya Transparansi Korporasi Dalam Pelestarian Habitat

Pembentukan kawasan bernilai konservasi tinggi di area konsesi harus menjadi kewajiban bagi semua perusahaan pertambangan dan perkebunan. Perusahaan wajib menyisihkan sebagian lahannya untuk koridor satwa liar dan area penyangga habitat orangutan. Kolaborasi antara pemerintah, perusahaan, dan lembaga konservasi diperlukan untuk menciptakan koeksistensi berkelanjutan antara ekonomi dan lingkungan.

Kesadaran masyarakat tentang pentingnya menjaga ekosistem orangutan perlu ditingkatkan melalui program edukasi lingkungan yang massif. Pengalaman wisata edukatif di kawasan konservasi memberikan pemahaman langsung tentang ancaman yang dihadapi primata cerdas ini. Kunjungan ke Taman Nasional Tanjung Puting memberikan wawasan mendalam tentang kehidupan orangutan di habitat alaminya.

Keterlibatan komunitas dalam kegiatan monitoring dan patroli hutan membantu deteksi dini gangguan habitat oleh perusahaan nakal. Masyarakat adat yang hidup berdampingan dengan orangutan dapat menjadi garda terdepan pelindung hutan. Pemberdayaan ekonomi berbasis konservasi menciptakan insentif positif bagi pelestarian lingkungan tanpa bergantung pada eksploitasi sumber daya alam.

Program restorasi habitat melalui penanaman kembali pohon pakan orangutan di area terdegradasi menunjukkan hasil positif untuk pemulihan populasi. Upaya ini memerlukan komitmen jangka panjang dari berbagai pemangku kepentingan termasuk pengusaha yang bertanggung jawab. Pemulihan ekosistem tidak hanya menguntungkan orangutan tetapi juga seluruh keanekaragaman hayati di dalamnya.

Ancaman terhadap ekosistem orangutan dari aktivitas konglomerat tambang dan sawit memerlukan respons cepat dan terkoordinasi dari seluruh elemen bangsa. Keseimbangan antara pembangunan ekonomi dan pelestarian lingkungan harus menjadi prioritas nasional yang tidak bisa ditawar. Masa depan orangutan Indonesia bergantung pada keberanian kita menghadapi kepentingan bisnis raksasa demi melindungi warisan alam bangsa ini.

Baca Artikel Lainnya